A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Alhamdulillahirabbilalamin
atas kehendak Allah SWT, kami dari kelompok empat belas yang beranggotakan M.
Sulton Ali Aziz dan Khikmatul Hidayah kelas A semester ganjil jurusan pendidikan IPS Universitas Maulana
Malik Ibrahim Malang, akhirnya dapat menyelesaikan makalah Wawasan IPS yang
bertemakan “Pemberdayaan Pembangunan Mentalitas Pembangunan Bangsa” yang diampu
oleh Bapak Dr. Zulfi Mubaroq, M. Ag pada tanggal 15 Desember 2011.
Urgensi
topik dari makalah kami yang berjudul Pemberdayaan Mentalitas Pembangunan
Bangsa. Rendahnya kualitas mental pembangunan bangsa kita saat ini membuat kami
merasa perlunya ada pembahasan tentang bagaimana menjadikan mental pembangunan
bangsa khususnya di Indonesia ini menjadi lebih baik.
Pemberdayaan
pembangunan mentalitas sepertinya sebagai suatu fenomena yang tidak
habis-habisnya dibahas dalam kerangka kajian keberlangsungan hidup manusia.
Fenomena ini melekat sebagai salah satu ciri kehidupan manusia yang kerap
mengalami perubahan. pembangunan biasanya melekat dalam konteks kajian suatu
pemberdayaan. Pemberdayaan pembangunan disini diartikan sebagaiu bentuk
perubahan yang sifatnya direncanakan setiap orang atau kelompok orang tentu
akan mengharapkan perubahan mental yang lebih baik bahkan sempurna dari keadaan
yang sebelumnya untuk mewujudkan harapan ini tentu harus memerlukan suatu
perencanaan sejak dini. Perubahan yang
dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau
yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang hendak mengadakan
perubahan di dalam masyarakat.
Pembangunan pada
umumnya menyinggung masalah mental, entah itu yang membahas pejabat, ataupun
masyarakat. Sepertinya masalah mental telah menjadi akar dari segala
permasalahan yang muncul dari pelaksanaan pembangunan. Hal ini tercermin juga
pada kelas Pemikiran Politik Indonesia, juga dengan adanya usaha-usaha
pengindentifikasian dan pemikiran-pemikiran ideal mengenai mentalitas bangsa
Indonesia.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik,
saran, maupun masukan yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan yang
akan datang. Akhirnya kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung membantu penyusunan makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat sebagaimana semestinya.
2.
Tujuan
a. Ingin memahami pemberdayaan masyarakat dan mentalitas
b. Ingin memahami mental pembangunan
c. Ingin memahami pembangunan bangsa
d. Mengetahui kelemahan mentalitas dalam pembangunan
e. Ingin memahami pengembangan mental pembangunan
3.
Rumusan masalah
a. Apa pengertian pemberdayaan masyarakat dan mentalitas ?
b. Apa mental pembangunan ?
c. Apa pembangunan bangsa ?
d. Apa kelemahan mentalitas pembangunan ?
e. Apa pengembangan mental pembangunan ?
B.
POKOK PEMBAHASAN
1.
Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Dan Mentalitas
a.
Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Dalam suatu pembangunan
yang paling menentukan adalah kinerja sumberdaya manusia. Jika sumberdaya
manusianya memiliki motivasi tinggi, kreatif dan mampu mengembangkan inovasi,
maka kinerjanya akan menjadi semakin baik.
Karenanya diperlukan
adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Dimasa yang lalu,
untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dilakukan melalui pelatihan dan
pengembangan atau disebut dengan pembinaan sumberdaya manusia. Secara bertahap
cara itu mulai ditinggalkan, karena dinilai kurang mampu mengembangkan inovasi
dan kreatifitas sumberdaya manusia.
Cara baru yang dapat
dipergunakan untuk mengembangkan sumberdaya manusia sekarang lebih dikenal
dengan pemberdayaan sumberdaya manusia, dengan pendekatan partisipasif yang
melibatkan semua pihak yang terkait dengan perubahaan. Memberdayakan orang
berarti mendorong mereka menjadi lebih terlibat dalam keputusan dan aktivitas
yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Pemberdayaan merupakan perubahan yang
terjadi pada falsafah manajemen yang dapat membantu menciptakan suatu
lingkungan dimana setiap individu dapat menggunakan kemampuan dan energinya
untuk meraih tujuan organisasi.
Pemberdayaan
masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk
memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya
bisa terjadi apabila warganya ikut berpartisipasi.[1]
Suatu
usaha hanya berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat"
apabila kelompok komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen pembangunan
atau dikenal juga sebagai subyek. Disini subyek merupakan motor penggerak, dan
bukan penerima manfaat atau objek saja.
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang
sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat
(community development). Karena prakteknya saling tumpang tindih, saling
menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa.
Pendapat dari Cook (1994) menyatakan pembangunan masyarakat
merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat
menuju kearah yang positif.
Sedangkan Giarci (2001) memandang pembangunan masyarakat sebagai
suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai
tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan
dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan
untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan
sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungancollective action dan
networking yang dikembangkan masyarakat.
Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian
pembangunan masyarakat dan Pemberdayaan masyarakat, secara sederhana, Subejo
dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang
disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan
dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan
networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian
secara ekonomi, ekologi, dan sosial”.[2]
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan
proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri
secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan
strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.
Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan
sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu
prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa
masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang
dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain
mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi.
Melalui upaya pemberdayaan, masyarakat didorong agar memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta
terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan
ekologi-nya. Secara ringkas keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat dengan
sustainable development.
Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan
eksternal. Tanpa mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya
kedua faktor tersebut saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan
dinamis. Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah
program yang disusun sendiri oleh masyarakat, mampu menjawab kebutuhan dasar
masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin dan kelompok yang terpinggirkan
lainnya, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya
lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan,
berbagai pihak terkait terlibat (instansi pemerintah, lembaga penelitian,
perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya), serta dilaksanakan secara
berkelajutan.
b.
Pengertian Mentalitas
Mental lebih dekat dengan qalb (Bhs Arab). Qalb, fuad: hati, lubuk hati, jantung. Qalb, quwwah, syajaa’ah: kekuatan, keberanian. Qalb, jauhar, lubb, shamiim: inti, esensi,
bagian dalam. Qawiyyu al qalb:
yang berani. Qaasii al qalb:
yang bengis, kejam. Qalbaa wa qaalibaa:
dengan sepenuh hati/jiwa raga, total. Maradhu al qalb:
penyakit hati (hasud, takabur, kidzb, dsb). Musaa’adatun qalbiyyah:
(bantuan) yang tulus ikhlas.[3]
Setiap kali kita
berbicara mengenai mentalitas bangsa, kita harus memperhatikan apakah kita
berbicara mental partikularistis atau mental bangsa (universalistis). Kita
tidak bisa melihat mental manusia jawa
atau seniman dangdut mewakili mental bangsa Indonesia. Jadi untuk mengetahui
mentalitas bangsa, perlu diadakan penelitian secara empirik yang menyeluruh
(selama ini belum pernah dilakukan) misalnya sensus kependudukan. Suatu hal
yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Walaupun demikian, ada baiknya kita tetap
juga memperhatikan pendapat yang sudah ada mengenai mentalitas bangsa.
Koentjaraningrat
mengatakan bahwa mentalitas bersumber pada sistem nilai budaya, dengan
menggunakan kerangka Kluckhon, ia mengungkapkan adanya dua golongan besar
mentalitas, yaitu mentalitas masyarakat kota dan mentalitas masyarakat desa.
Menurutnya orang desa
bekerja keras untuk makan. Orang desa mempunyai orientasi hidup ditentukan oleh
kehidupan masa kini. Orang hidup harus selaras dengan alam. Dalam hubungannya
dengan sesamanya orang tani menilai tinggi, konsep sama rata sama rasa. Gotong
royong mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini menyebabkan sikap mereka menjadi
sangat konformistis (diharapkan orang menjaga agar jangan dengan sengaja
berusaha untuk menonjol di atas yang lain).
Orang kota beranggapan,
bahwa manusia bekerja untuk mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan
lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran. Orientasi waktunya lebih ditentukan
oleh masa lampau. Mereka terlalu banyak menggantungkan dirinya pada nasib.
Dalam hubungan dengan sesamanya, orang kota amat berorientasi ke arah atasan,
dan menunggu restu dari atas.
Gambaran di atas
menurut Koentjaraningrat merupakan sikap mental yang sudah lama mengendap dalam
pikiran kita, karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya kita
sejak beberapa generasi yang lalu yang terkondisi sedemikian rupa sehingga
bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Sedangkan setelah revolusi,
mentalitas bangsa Indonesia bersumber pada kehidupan ketidakpastian, tanpa
pedoman dan orientasi yang tegas. Hal ini disebabkan karena keberantakkan
ekonomi dan kemunduran-kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial
budaya. Mentalitas ini mempunyai kelemahan:
1)
Sifat mentalitas yang
meremehkan mutu
2)
Sifat mentalitas yang
suka menerabas
3)
Sifat mentalitas tak
percaya diri sendiri
4)
Sifat mentalitas tak
berdisiplin murni
5) Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh.[4]
Berbeda dengan
Koentjaraningrat, A.S. Munandar mengadakan penelitian empiris (1979)
untukmenjelaska orientasi nilai budaya dan mentalitas yang ada pada alam
pikiran manusia Indonesia. Kuesionernya diisi oleh manajer, supervisor dan
karyawan dari berbagai perusahaan swasta
dan pegawai negeri.
Pertanyaan-pertanyaannya
berkisar pada aspek-aspek kepemimpinan, motivasi, komunikasi, pengambilan
keputusan, tujuan, dan pengendalian. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa
sistem manajemen yang dirasakan pada saat ini pada masing-masing perusahaan
berada di antara sistem manajemen benevolent authoritative dan consultative.
Pada aspek pengambilan keputusan yang diraskan digunakan sekarang adalah sistem
manajemen benevolent, yaitu keputusan diambil di tingkat pucuk pimpinan,
beberapa hal didelegasikan ke bawah, bawahan kadang-kadang di ajak berunding
(konsultasi). Tidak ada kelompok yang menginginkan sistem manajemen
partisipative.
Munandar melihat bahwa
manusia pembangun Indonesia perlu memilki suatu sistem nilai yang mendasari,
mempedomani, dan mengarahkan perilakunya sehari-hari, perilakunya dalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan produktif, ia juga melihat bahwa Ekaprasetya
Pancakarsa yang merupakan code of conduct atau dasar pedoman perilaku manusia
Indonesia pada umumnya perlu disoroti lebih lanjut.
Berikut ini adalah
pendapat Koentjaraningrat berdasarkan kerangka nilai dari Kluckhon: "Suatu
bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar
banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan, dan demikian
bersifat hemat untuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan,
lebih menilai tinggi hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi;
lebih menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya dan akhirnya
menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuannya sendiri, berdisiplin murni
dan berani bertanggungjawab sendiri".
Pitirim Sorokin
mengemukakan teori bahwa kehidupan sosial diresapi dan disebabkan oleh
mentalitas, yaitu ideational (peka bagi nilai-nilai spiritual, spekulatif),
sensate atau inderawi (mementingkan nilai-nilai material dan empiris), dan
diantara kedua ekstrim itu 'mentalitas campuran'. Kalau saya boleh menambahkan
satu tipe lagi yaitu mentalitas senyawa (istilah kimia) yang tersusun dari
kedua ekstrim tadi (ideational dan sensate) tetapi mempunyai karakter yang
berbada dari karakter asalnya. Apabila kerangka ini digunakan untuk
mengindetifikasikan mentalitas bangsa Indonesia, maka saya yakin semua tipe
akan ditemukan berlaku dalam masyarakat Indonesia yang sangat plural.
Jadi mentalitas itu ialah segala
sesuatu yang bersangkutan dengan batin dan
watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Contoh: bukan hanya pembangunan fisik yang diperhatikan, melainkan
juga pembangunan mental batin
dan watak. Contoh: mental baja, kemauan keras
dan tegar. Mentalitas: keadaan dan
aktifitas jiwa atau batin, cara berfikir, dan berperasaan. Contoh: faktor mental merupkan faktor penentu di pembangunan.[5]
2.
Mental Pembangunan
Ternyata,
kemalangan bangsa ini msih belum habis-habinya. Setelah porak-poranda akibat
kerusuhan yang mengancam desteintegrasi yang masih saja berkecambuk, sementara
krisis moneter masih saja belum menunjukkan titik akhir, muncul lagi berbagai
peristiwa yang tabu. Dua peristiwa yang membuat orang tidak habis pikir yakni
masalah korupsi dan penyalah gunaan dana rakyat menggambarkan betapa bobroknya
manejemen dan mental para pengatur negara
yang menjadi tumpuan harapan masyarakat banyak. Sepertinya reformasi
masih belum mampu menangani masalah penyakit nomor satu bangsa Indonesia, yaitu
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam
proses pembangunan yang sebenarnya ada tiga badan yang sangat berperan
menertibkan dan mengarahkan pembangunan, yaitu bada perencana (bapenas), badan
pengawasan (BPKP), dan badan penegak hukum (kejaksaan, polisi, dll). Apabila
ketiga badan tersebut tertib, kuat, kompak, dan bersih, maka akan lanca suatu
proses pembangun negara. Sebaliknya, jika ketiga badan tersebut rusak maka akan
mebuat negara terombang-ambing seperti tanpa arah dan tujuan. Gambaran inilah
yang dialami bangsa indonesia sebagai akibat rusaknya ketiga badan kunci
penyelenggaraan pembangunan tersebut.
Cara
bernegara dan bermasyarakat yang dianut tidak ubahnya sebuah konsep feodal.
Konsep demokrasi yang dibesar-besarkan hanya sebuah gagasan saja. Kedaulatan
bukan ditangan rakyat melainkan ditangan penguasa. Rakyat tidak bisa mengontrol
lembaga formal seperti DPR dan MPR.
Mestinya tugas pemerintah tidak lebih dari abdi rakyat dan bukan abdi
negara. Mereka dibayar dengan uang rakyat dan negara ini milik rakyat bukan
kepunyaan pemerintah.
Menurut Sarjono Jatiman, sosiolog dan peneliti di Pusat Penelitian
Pranata Pembangunan, demokrasi memang berjalan, tapi dalam praktiknya tidak
berjalan. Negara ini menyadari betul adanya konsep feodal. Oleh karena itu,
mereka tidak mendirikan negara kerajaan melainkan negara republik yang egaliter
berdasarkan hukum, bahwa mulai saat itu kedudukan mereka sama dengan rakyat.[6]
Akan
tetapi gagasan egaliter tidak tidak dikembangkan, justru yang berkembang
gagasan feodal. Apa yang dilakukan penguasa selalu dianggap benar, tidak ada
yang mengontrol, seolah-olah korupsi pun dianggap benar pula. Dalam menjalankan
kekuasaan membutuhkan dukungan, modal, uang, dan sebagainya dari rakyat. Tapi,
hanya rakyat atau kelompok-kelompok saja yang mampu memasok dan yang diberi
kesempatan untuk memerintah. Dengan demikian muncullah kolusi, dan dari kolusi
tersebut muncul pula nepotisme.
Sementara itu, menurut Kundjaraningrat, dalam bukunya kebudayaan,
mentalitas, dan pembangunan sebagian besar bangsa belum secara mantap memiliki
mentalitas pembangunan. Mentalitas itu mensyaratkan suatu nilai budaya yang
berorientasi ke masa depan, sifat hemat, hasrat bereksplorasi dan berinovasi,
pandangan hidup yang menilai tinggi suatu hasil karya, Nilai budaya yang kurang
berorientasi vertikal, sikap percaya pada kemampuan sendiri, berdisiplin murni,
dan berani bertanggung jawab sendiri.[7]
Oleh
karena itu, banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi penyakit sosial budaya
yang parah, seperti krisis otoritas, kemancetan administrasi, dan korupsi yang
mengganas. Menurut Kundjaraningrat, untuk mengubah mentalitas yang lemah itu
ada empat jalan, yaitu meliputi; memberi contoh yang baik, memberi perangsang
yang cocok, persuasi dan penerangan, serta pembinaan dan pengasuhan generasi
baru untuk masa yang akan datang.
Diasumsikan
banyak orang indonesia mempunyai mentalitas yang berorientasi kepada para
pembesar sehingga bila pembesar memberi contoh yang benar maka, bawahannyapun
akan mengikutinya. Persuasi dan penerangan merupakan jalan untuk menanamkan
mentalitas pembangunan baru bagi generasi mendatang.
Stigma
negatif dan rendahnya kepercayaan terhadap bangsa sendiri ini didukung dengan
masalah pembangunan. Masalah yang tak kalah pelik dihadapi pemerintah adalah
sikap apatis masyarakat dan partisipasi yang rendah dalam pembangunan,
ketidakberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta memecahkan
masalahnya, tingkat adopsi masyarakat yang rendah terhadap inovasi, dan
masyarakat yang cenderung menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah,
serta kritik-kritik lainnya yang umumnya meragukan bahwa masyarakat memiliki
potensi untuk dilibatkan sebagai pelaksana pembangunan. Hal ini biasanya
disebabkan anggapan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan,
masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi dan merumuskan
persoalan serta kebutuhan-kebutuhannya. Akibatnya, dalam menjalankan proses
pembangunan dan mengatasi persoalan dalam masyarakat, pemerintah cenderung
kurang melibatkan masyarakat setempat. Intervensi dari pihak luar baik
pemerintah maupun lembaga bantuan masih menjadi pendekatan yang dominan.
Cooperrider
& Whitney (2001) Proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program
pembangunan di kerapkali dilakukan dari atas ke bawah (’top-down‘). Rencana
program pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat pusat (atas) dan
dilaksanakan oleh Instansi Propinsi dan Kabupaten (bawah). Dalam visi ini
masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar. Program
yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah sering tidak berhasil dan
kurang memberi manfaat kepada masyarakat, karena masyarakat kurang terlibat
sehingga mereka merasa kurang bertanggung jawab terhadap program dan
keberhasilannya. Pemerintah juga kerap mengeluarkan kebijakan dengan pendekatan
yang selalu diawali dengan identifikasi persoalan dan kebutuhan serta analisis
solusi. Kemudian proyek dirancang sesuai dengan ‘pohon masalah’. Pendekatan
yang telah bertahan lama ini bukannya tanpa manfaat. Pembangunan sarana umum
seperti sekolah, klinik kesehatan, jembatan di pelosok-pelosok desa tentu amat
dibutuhkan oleh masyarakat. Namun tidak efektif dan membutuhkan biaya yang
besar, mengingat identifikasi masyarakat sebagai ‘klien’ yang ketika satu
masalah dapat diatasi, maka membutuhkan bantuan untuk mengatasi masalah
lainnya. Padahal pemerintah juga memiliki keterbatasan dan tidak bisa terus
menerus memberi bantuan. Dampak lain dari pendekatan ini adalah lahirnya sikap
defensif, kehilangan visi ke depan, penurunan semangat dan melahirkan
persoalan-persoalan baru.
3.
Pembangunan Bangsa
Konsep pembangunan
sesungguhnya tidak perlu dihubungkan dengan aspek-aspek sosial. Pembangunan
yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal membuktikan
keberhasilan. Hal
ini antara lain dapat dilukiskan di negara-negara Singapura, Hongkong,
Australia, dan negara-negara maju lain. Kebijakan ekonomi di negara-negara
tersebut umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan
dari aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme politik yang bertanggung
jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi dapat diuraikan kembali secara
transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah perencanaan.[8]
Bukan saja aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan
tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan
fungsinya ditingkatkan. Sementara dalam aspek
lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan
demi kepentingan umat manusia. Dari semua itu, yang terpenting pengambilan
keputusan juga berjalan sangat bersih dari beragam perilaku lobi yang bernuansa
kekurangan (moral
hazard) yang dipenuhi kepentingan tertentu (vested interest) dari keuntungan
semata (rent
seeking). Demikianlah, hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat secara adil melintasi (menembus) batas ruang (inter-region) dan
waktu (inter-generation).
Sejauh ini serangkaian
pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif
sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi
oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan
pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema
pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan
dapat diartikan sebagai suatu
upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah
kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling
manusiawi.
Riyadi
dan Deddy Supriyadi Bratakusumah (2005) Mengenai pengertian pembangunan, para
ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan.
Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang
lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara
lain. Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan
proses untuk melakukan.
Siagian
(1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara
sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan
pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah
yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Riyadi
dan Deddy Supriyadi Bratakusumah (2005) Pada awal pemikiran tentang pembangunan
sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan
perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan
pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada
aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta
industrialisasi, secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu,
keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena
masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta
prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang
merefleksikan perubahan.
Alexander
(1994) Pembangunan (development)
adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik,
ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan
budaya.
Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan
sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses
perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
Menurut
Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai
transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan
strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi,
misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang
cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan
nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi
semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan
modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian
kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya
sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas
rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan
transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya
semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan
norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke
materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada
penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan
rasional.
Dengan
demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat,
ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional)
dan mikro (commuinity/group).
Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan
diversifikasi.
Riyadi
dan Deddy Supriyadi Bratakusumah (2005) Sebagaimana dikemukakan oleh para para
ahli di atas, pembangunan adalah
sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan
terencana. Sedangkan perkembangan
adalah proses perubahan yang terjadi secara alami
sebagai dampak dari adanya pembangunan.
Dengan
semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang menyangkut
berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup
bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang
dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi
diartikan sebagai proses trasformasi
dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi,
industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh
karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang
mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai
suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan
tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya
penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisional.
Selanjutnya
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para ahli
manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan
secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai suatu
upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang
dimaksud adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula
ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring dengan
perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk
dapat membedakan keduanya tanpa harus memisahkan secara tegas batasannya,
Siagian (1983) dalam bukunya Administrasi Pembangunan mengemukakan,
“Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan
bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan
pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok
untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan
merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat
dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan
terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya
pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang
dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.[9]
4.
Kelemahan Mentalitas Untuk Pembangunan
Negeri ini sudah dikenal memiliki sosial kapital yang sangat rendah
dan dikenal pula memiliki etos kerja yang sangat rendah. Menurut Koendjaraningrat,
bangsa indonesia memiliki kelemahan yang amat fatal, terutama bersumber pada
kehidupan yang penuh keragu-raguan, tanpa orientasi, dan tanpa pedoman.
Mentalitas yang lemah juga bersumber pada sifat mentalitas yang meremehkan
mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin dan suka mengabaikan
tanggung jawab.[10]
Sartono
Kartodirdjo (1998) bahwa rusaknya manajemen birokrasi bersumber dari rendahnya
sumber daya sosial budaya masyarakat. Menurutnya, setiap usaha
menginstitusionalkan manajemen modern untuk pembangunan yang baik tidak bisa
dengan cara lain kecuali melalui cara pembenahan kepada perilaku manusianya.
Artinya, suatu proses manajemen birokrasi tidak berada pada dalam suatu ruang
kosong ekonomi, sosial, dan budaya.
Proses
transformasi telah berjalan di negeri ini, dan tahapan tradisional feodal telah
digantikan dengan tahan industrialisasi yang lebih mengutamakan kepada mutu,
modal, iptek dan berbagai proses liberalisasi lainnya. Akibat semakin derasnya
globlalisasi dan kebijakan pembangunan yang relatif terbuka menciptakan peluang masuknya produk industri
dari negara-negara maju ke tengah denyut jantung masyarakat. Kemajuan teknologi
dan komunikasipun telah menjadi sarana penting bagi masyarakat. Tanpa dirasakan
masyarakat indonesia telah menjadi obdjek
bagi produk-produk negara asing yang menjadikan semacam bentuk
penjajahan dari negara maju ke negara berkembang.
Pola
kehidupan konsumerisme dalam rangka kegunaan (utility), lebih berat dari pada
pertimbangan nilai (value) yang melekat pada produk itu, dan berubah menjadi
suatu barang yang memiliki makna simbolik. Dalam mengkonsumsi, orang lebih
mementingkan image pada produk itu,
daripada kegunaannya. Produk itu lebih dilihat dari citra, rasa, kemewahan dan
kenikmatan, semakin langka suatu produk maka semakin tinggi pula makna simbolik
yang dimiliki.
Selain
memiliki nilai guna dengan fungsi yang telah ditentukan produsen, masyarakat
sendiri membangun makna simbolik baru dengan citra kemewahan dan gengsi.
Akibatnya konsumerisme dari produk impor menjadi beban kultural yang dihadapi
masyarakat. Kebutuhan manusia yang mengkonsumsi produk industri untuk melakukan
display atau pamer pada lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya, kebutuhan sangat
erat kaitannyadengan tuntutan masyarakat industri itu sendiri yang memang
memerlukan semacam persaingan dalam kehidupannya.
Meskipun
dari waktu kewaktu kencenderungan mengkonsumsi produk dari negara maju, tapi
produk lokal punya makna simbiolik yang tetap saja dipertahankan meskipun tidak
secara utuh. Aspek imitatifpun menjadi menguat, baik membangkitnya kembali
nilai-nilai lokal maupun simbol-simbol negara maju yang bisa dijadikan acuan.
Perpaduan dua jenis yang berbeda dari corak yang khas sebagai hasil konstruksi
masyarakat sendiri. Ambigiuti dan kegalauan dalam pola kehidupan seakan-akan
memaksa mengadopsi kedua sistem budaya tersebut secara bersamaan. Meskipun yang
diambil lebih banyak budaya material dari pada nilai yang terdapat dalam benda
itu.
Dengan
keinginan kuat untuk merengkuh segala model kehidupan, beban kultural semakin
memberat. Sementara itu penanggulannya tidak selalu mudah, karena membutuhkan
dana yang cukup besar. Masyarakat yang terjerat
dalam konsumerisme memang sering membebani kehidupan. Beban kultural yang
semakin berat tidak mungkin untuk diletakkan saja. Untuk memenuhi tuntutan
konsumerisme tidak membutuhkan dana yang sedikit pula. Mulai saat itulah mental
nrabas masyarakat indonesia mulai
dimainkan peranannya. Pada awal pemerintahan orde baru telah diingatkan tentang
mentalitas suatu bangsa Indonesia yang memiliki potensi untuk merintangi
pembangunan, yaitu mentalitas nrabas.
Mentalitas seperti itu tidak pantas untuk menompang pembangunan, bahkan bisa
menjadi kendala dan rintangan bagi pembangunan Indonesia itu sendiri. Terutama
karena yang memiliki mentalitas nrabas,
selalu menghindari kerja keras, disiplin yang tinggi, dan rasa tanggung jawab.
Mereka lebih suka jalan pintas, yaitu dengan cara melanggar etika dan peraturan
yang akhirnya menyeret pada pertilaku KKN.
Sairin
(1995) mengemukakan mentlitas nrabas
menyebabkan hilangnya rasa malu, perasaan tidak enak, ewuh pakewuh, bahkan nilai-nilai instrumental seperti, dosa,
kualat, dan haram dapat lenyap dari dirinya sendiri. Seringkali beban kultural
tidak cukup untuk memenuhi beban kultural. Untuk menambah penghasilan yang
cukup besar tidak jarang mereka melakukan berbagai upaya yang sudah dapat
dikatagorikan sebagai tindakan tegel (heartless).[11]
Praktik
KKN menyebabkan manisnya kue pembangunan hasil adonan pemerintah orde baru,
sempat dicicipi oleh sekelompok orang saja. Sekitar 30% dari anggaran
pembangunan mengalami kebocoran. Akibatnya dari 70% kekuatan ekonomi nasional
berada di tangan 4% saja penduduk Indonesia. Bahkan menjelang lengsernya orde
baru kelompok ini diperkirakan telah mendomonasi 80% dalam ekonomi nasional.
5.
Pengembangan Mental Pembangunan
Dalam
memberantas mentalitas lemah, berupa praktik KKN sudah seharusnya kedaulatan
negara dikembalikan kepada rakyat. Pemerintah hanya merumuskan dan melakukan
kebijakan, sedangkan yang mengontrol itu adalah rakyat. Kontrol bukan atas
kebawah melainkan sebaliknya, dari bawah ke atas. Di sini kontrol tidak hanya
bersifat fertikal, tetapi juga horizontal. Dalam konteks ini kita tidak perlu
takut bertindak benar diantara yang salah atau takut dianggap nyleneh.
Mengingat yang kita lakukan berdasar pada aturan dan bukan selera, karena negara ini adalah
negara hukum. oleh karena itu, keberanian melakukan kontrol harus datang dari
semua komponen, dan semua komponen negara harus masuk.
Cepat
tidaknya proses reformasi tergantung pada bagaimana mentranformasikannya dalam
kehidupan, semua harus berangkat dari diri sendiri, masyarakat dan institusi.
Kita harus memulai pada diri sendiri sebelum masuk pada generasi yang lain.
Pada dasarnya itu saudah kita jalankan, tetapi masih sebagian.
Pendidikan
untuk generasi mendatang itu sangatlah penting, karena pendidikan merupakan human investment. Ditinjau dari sudut
pandang pendidikan, praktik KKN terjadi karena hilangnya kepekaan terhadap
lingkungan. Dari keadaan tersebut ada sekelompok masyarakat mempunyai hak yang
lebih. Dengan itu mereka mencari kesempatan sebesar-besarnya tanpa memikirkan
kepentingan yang lainnya, rasa sungkan, segan, dan malu sudah hilang atau
setidaknya berkurang apa kadarnya.
Lebih parah lagi, manakala kesempatan berpendapat tidak diberikan
scara adil. Padahal pendapat, usul, dan kritik dari lingkungan merupakan
rembagi penyelenggara negara. Dari pembenaran tersebut, akhirnya muncul pembenaran
individu. Dalam konteks ini, terutama untuk generasi mendatang peranan
pendidikan bukan untuk mengubah mentalitas, namun untuk menanamkan nilai-nilai
yang tidak bernuansa KKN. Menurut Henny dalam memberikan pendidikan atau
menanamkan nilai pijakan utamanya tetap pada agama. Sejak dini anak-anak mesti
diberi pemahaman dang penghayatan akan nilai kejujuran, kepekaan, dan hormat.
Ketiga nilai universal itu erat kaitanya dengan praktik KKN.[12]
Dengan
penghayatan nilai kejujuran pada seorang anak, akan tidak enak bila melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan nilai kejujuran. Apabila kepekaan tersebut
tertanam dengan baik seseorang akan memikirkan dampak yang akan timbul sebelum
melakukan sesuatu.
Kepekaan
lainnya adalah kepekaan sosial. Misalnya apabila seorang ibu mendapati baju
puteranya sudah kekecilan dan masih layak pakai, sebaiknya anak diajari untuk
memikirkan dikemanakn baju itu. Dengan pendidikan seperti itu, ibu mencoba
menanamkan kepada benak anaksiapa yang masih membutuhkan baju itu.
Pada
kajian tersebut anak tidak diajarkan untuk tidak membicarakan harga, harta,
barang, dan kesempatan yang mereka miliki ketika berada di depan orang yang
kurang beruntung.
Sebagai
contoh untuk diteladani dalam hal yang kurang baik, misalnya, kata-kata yang
dilontarkan oleh salah satu anggota keluarga penjabat yang menyatkan memiliki
salah satu mobil termahal di dunia. Hal tersebut tentunya tidak pantas
dilontarkan sementara jutaan rakyat masih miskin. Hal yang pantas dan tidak
pantas itu seharusnya diajarkan sejak kecil ini penting dilakukan karena itu
harus diajarkan sejak kecil dan akan membuat anak senantiasa bersyukur pada Tuhan
YME terhadap apa yang dimiliki. Mengingat, orang lain dalam keadaan menderita
dan kekurangan. Dalam menanamkan nilai hormat (menghargai) anak didik untuk
menghargai sesama, kesempatan orang lain, melihat secara objektif kesempatan
setiap orang, dan mempertimbangkan mana yang baik dan buruk. Pendidikan nilai
tersebut akan lebih efektif bila dilakukan oleh orang tua dirumah.
Pendidikan
dirumah hendaknya dapat menyentuh budi pekerti dan tidak dogmatis. Dalam
konteks trsebut, anak diberi kesempatan mengasah sendiri nilai-nilai dalam
dirinya, dan sesuatu yang terjadi pada masyarakat bisa menjadi pelajaran yang
sesungguhnya. Apabila pintu berpendapat telah terbuka lebar, dengan sendirinya
kontrol sosial juga akan muncul. Sebaliknya jika semua serba dogmatis,
bependapatpun semakin langka, apabila keadaan tersebut tercipta maka
pembenaran-pembenaran akan bermunculan. Pada akhirnya, bila
pembenaran-pembenaran itu terus dilakukan hati nuranipun tidak mau bicara.
Dengan hati nurani yang terasah dengan sendirinya akan menjadi filter diri bila
hendak melakukan sesuatu yang destruktif. KKN merupakan perbuatan yang
destruktif. Apa bila di kemudian ia menemukan praktik KKN dan tidak bisa
mencegahnya, bukan berarti dia ikut melakukan itu, melainkan akan bersikap
pasif.
Pada
dasrnya sanksi dari luar tidak terlalu signifikan untuk mengubah perilaku
seseorang. Untuk itu sanksi yang efektif sebetulnya berasal dari dalam diri
sendiri, yaitu berupa perasaan yang tidak enak. Perasaan inilah yang nantinya
menjadi rambu-rambu dalam hidupnya, apabila sanksi dari luar yang diberikan
tidak menghalanginya, maka akan muncul pembenaran-pembenaran individu atau
benar menurut diri sendiri. Sebaliknya, jika nilai kejujuran, kepekaan, dan
penghargaan tersebut sudah tertanam dalam diri seseorang dengan sendirinya
langkah yang diambil tidak mengarah pada hal-hal yang bertentangan dengan
nilai-nilai itu. Dengan demikian KKN menjadi sesuatu yang sangat haram
dilakukan.
C.
Analisis Dan Diskusi
1.
Analisis
Sangat
penting bagi kita untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang pemberdayaan
mentalitas pembangangunan bangsa. Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami
keterpurukan mental dalam hal pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan bangsa.
Terbukti dengan semakin merebaknya kasus-kasus
KKN. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan mental bangsa kita semakin
menurun. Praktik KKN ini terjadi karena hilangnya kepekaan terhadap lingkungan,
dan dalam hal ini disebut dengan
mentalitas nrabas.
Dalam
rangka pemberdayaan pembangunan mentalitas, penyempurnaan mekanisme
pemberdayaan pembangunan perlu dilakukan mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian sejak dini. Hal ini harus segera untuk diatasi.
Jika tidak , bangsa kita lama kelamaan akan semakin jauh dari pencapaian
kemajuan bangsa. Ada tiga badan yang sangat berperan dalam mengarahkan
pembangunan yaitu perencana (bapenas), pengawasa (BPKP), dan pengak hukum. Untuk itu kita harus memiliki sifat-sifat
yang positif sejak kecil yang ajarkan di rumah oleh keluarga agar dapat
menghindari sifat-sifat yang negatif. Pendidikan yang dilakukan dirumah
hendaknya dapat menyentuh budi pekerti dan tidak dogmatis, disini anak akan
mengaash sendiri nilai-nilai dari dalam dirinya untuk mengamati dan mempelajari
apa yang terjadi disekitar mereka. Sesuatu yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat akan dapat menjadi pembelajaran yang sesunguhnya.
2.
Diskusi
-
Faktor
internal dan eksternal pemberdayaan masyarakat.
-
Solusi
dalam pemberdayaan
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pemberdayaan
masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk
memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri.
2.
Mentalitas
itu ialah segala sesuatu yang bersangkutan
dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga.
3.
Mentalitas ini
mempunyai kelemahan:
1)
Sifat mentalitas yang
meremehkan mutu
2)
Sifat mentalitas yang
suka menerabas
3)
Sifat mentalitas tak
percaya diri sendiri
4)
Sifat mentalitas tak
berdisiplin murni
5)
Sifat mentalitas yang
suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh
4. Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak
hal membuktikan keberhasilan.
5. Dalam memberantas mentalitas lemah, berupa praktik KKN sudah
seharusnya kedaulatan negara dikembalikan kepada rakyat.
6. Cepat tidaknya proses reformasi tergantung pada bagaimana
mentranformasikannya dalam kehidupan, sumua harus berangkat dari diri sendiri,
masyarakat dan institusi.
7. Pendidikan dirumah hendaknya dapat menyentuh budi pekerti dan tidak
dogmatis. Dalam konteks trsebut, anak diberi kesempatan mengasah sendiri
nilai-nilai dalam dirinya, dan sesuatu yang trjadi pada masyarakat bisa menjadi
pelajaran yang sesungguhnya.
Daftar
Rujukan
·
Koendjaraningrat.
1974. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Jembatan
·
Koendjaraningrat
dalam bukunya kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan
·
Koentdjaraningrat.
1969. Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta:
Bhratara
·
Sairin,
Sjafri. 1995. “Induztrialization, Consumer Culture and The Heartless Society”.
·
Warsito,Bambang.
konsep dasar ilmu pengetahuan sosial.2009.malang: Surya Pena Gemilang
·
Subejo dan Supriyanto. 2004. Pemberdayaan masyarakat. Wordpress
[2] Subejo dan
Supriyanto. 2004. Pemberdayaan masyarakat. Wordpress
[3] Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1999: 856
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia 2000: 733
[6] Sarjono Jatiman, sosiolog dan
peneliti di Pusat Penelitian Pranata Pembangunan
[7] Koendjaraningrat, dalam bukunya
kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan
[11] Sairin,
Sjafri. 1995. “industrialization, consumer Culture an The Heartless Society”.
The Most Successful Sites for Crypto, Casino & Poker - Goyang
BalasHapusGoyang Casino หารายได้เสริม & Poker is 토토 사이트 코드 one of the most worrione.com famous and well known crypto gambling sites, founded in 2012. goyangfc.com They are popular because 도레미시디 출장샵 of their great