Makalah Pemberdayaan Mental Pembangunan Bangsa


A.    Pendahuluan

1.      Latar Belakang
Alhamdulillahirabbilalamin atas kehendak Allah SWT, kami dari kelompok empat belas yang beranggotakan M. Sulton Ali Aziz dan Khikmatul Hidayah kelas A semester ganjil  jurusan pendidikan IPS Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang, akhirnya dapat menyelesaikan makalah Wawasan IPS yang bertemakan “Pemberdayaan Pembangunan Mentalitas Pembangunan Bangsa” yang diampu oleh Bapak Dr. Zulfi Mubaroq, M. Ag pada tanggal 15 Desember 2011.
Urgensi topik dari makalah kami yang berjudul Pemberdayaan Mentalitas Pembangunan Bangsa. Rendahnya kualitas mental pembangunan bangsa kita saat ini membuat kami merasa perlunya ada pembahasan tentang bagaimana menjadikan mental pembangunan bangsa khususnya di Indonesia ini menjadi lebih baik.
Pemberdayaan pembangunan mentalitas sepertinya sebagai suatu fenomena yang tidak habis-habisnya dibahas dalam kerangka kajian keberlangsungan hidup manusia. Fenomena ini melekat sebagai salah satu ciri kehidupan manusia yang kerap mengalami perubahan. pembangunan biasanya melekat dalam konteks kajian suatu pemberdayaan. Pemberdayaan pembangunan disini diartikan sebagaiu bentuk perubahan yang sifatnya direncanakan setiap orang atau kelompok orang tentu akan mengharapkan perubahan mental yang lebih baik bahkan sempurna dari keadaan yang sebelumnya untuk mewujudkan harapan ini tentu harus memerlukan suatu perencanaan sejak dini. Perubahan yang  dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat.
Pembangunan pada umumnya menyinggung masalah mental, entah itu yang membahas pejabat, ataupun masyarakat. Sepertinya masalah mental telah menjadi akar dari segala permasalahan yang muncul dari pelaksanaan pembangunan. Hal ini tercermin juga pada kelas Pemikiran Politik Indonesia, juga dengan adanya usaha-usaha pengindentifikasian dan pemikiran-pemikiran ideal mengenai mentalitas bangsa Indonesia.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik, saran, maupun masukan yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan yang akan datang. Akhirnya kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat sebagaimana semestinya.

2.      Tujuan
a.       Ingin memahami pemberdayaan masyarakat dan mentalitas
b.      Ingin memahami mental pembangunan
c.       Ingin memahami pembangunan bangsa
d.      Mengetahui kelemahan mentalitas dalam pembangunan
e.       Ingin memahami pengembangan mental pembangunan

3.      Rumusan masalah
a.       Apa pengertian pemberdayaan masyarakat dan mentalitas ?
b.      Apa mental pembangunan ?
c.       Apa pembangunan bangsa ?
d.      Apa kelemahan mentalitas pembangunan ?
e.       Apa pengembangan mental pembangunan ?


B.     POKOK PEMBAHASAN

1.      Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Dan Mentalitas

a.      Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Dalam suatu pembangunan yang paling menentukan adalah kinerja sumberdaya manusia. Jika sumberdaya manusianya memiliki motivasi tinggi, kreatif dan mampu mengembangkan inovasi, maka kinerjanya akan menjadi semakin baik.
Karenanya diperlukan adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Dimasa yang lalu, untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan atau disebut dengan pembinaan sumberdaya manusia. Secara bertahap cara itu mulai ditinggalkan, karena dinilai kurang mampu mengembangkan inovasi dan kreatifitas sumberdaya manusia.
Cara baru yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan sumberdaya manusia sekarang lebih dikenal dengan pemberdayaan sumberdaya manusia, dengan pendekatan partisipasif yang melibatkan semua pihak yang terkait dengan perubahaan. Memberdayakan orang berarti mendorong mereka menjadi lebih terlibat dalam keputusan dan aktivitas yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Pemberdayaan merupakan perubahan yang terjadi pada falsafah manajemen yang dapat membantu menciptakan suatu lingkungan dimana setiap individu dapat menggunakan kemampuan dan energinya untuk meraih tujuan organisasi.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif  untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi apabila warganya ikut berpartisipasi.[1]
Suatu usaha hanya berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat" apabila kelompok komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subyek. Disini subyek merupakan motor penggerak, dan bukan penerima manfaat atau objek saja.
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development). Karena prakteknya saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa.
Pendapat dari Cook (1994) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang positif.
Sedangkan Giarci (2001) memandang pembangunan masyarakat sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungancollective action dan networking yang dikembangkan masyarakat.
Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian pembangunan masyarakat dan Pemberdayaan masyarakat, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial”.[2]
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.
Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi.
Melalui upaya pemberdayaan, masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya. Secara ringkas keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat dengan sustainable development.
Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal. Tanpa mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya kedua faktor tersebut saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun sendiri oleh masyarakat, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin dan kelompok yang terpinggirkan lainnya, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat (instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya), serta dilaksanakan secara berkelajutan.
b.      Pengertian Mentalitas
Mental lebih dekat dengan qalb (Bhs Arab). Qalb, fuad: hati, lubuk hati, jantung. Qalb, quwwah, syajaa’ah: kekuatan, keberanian. Qalb, jauhar, lubb, shamiim: inti, esensi, bagian dalam. Qawiyyu al qalb: yang berani. Qaasii al qalb: yang bengis, kejam. Qalbaa wa qaalibaa: dengan sepenuh hati/jiwa raga, total. Maradhu al qalb: penyakit hati (hasud, takabur, kidzb, dsb). Musaa’adatun qalbiyyah: (bantuan) yang tulus ikhlas.[3]
Setiap kali kita berbicara mengenai mentalitas bangsa, kita harus memperhatikan apakah kita berbicara mental partikularistis atau mental bangsa (universalistis). Kita tidak bisa melihat  mental manusia jawa atau seniman dangdut mewakili mental bangsa Indonesia. Jadi untuk mengetahui mentalitas bangsa, perlu diadakan penelitian secara empirik yang menyeluruh (selama ini belum pernah dilakukan) misalnya sensus kependudukan. Suatu hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Walaupun demikian, ada baiknya kita tetap juga memperhatikan pendapat yang sudah ada mengenai mentalitas bangsa.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa mentalitas bersumber pada sistem nilai budaya, dengan menggunakan kerangka Kluckhon, ia mengungkapkan adanya dua golongan besar mentalitas, yaitu mentalitas masyarakat kota dan mentalitas masyarakat desa.
Menurutnya orang desa bekerja keras untuk makan. Orang desa mempunyai orientasi hidup ditentukan oleh kehidupan masa kini. Orang hidup harus selaras dengan alam. Dalam hubungannya dengan sesamanya orang tani menilai tinggi, konsep sama rata sama rasa. Gotong royong mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini menyebabkan sikap mereka menjadi sangat konformistis (diharapkan orang menjaga agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol di atas yang lain).
Orang kota beranggapan, bahwa manusia bekerja untuk mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran. Orientasi waktunya lebih ditentukan oleh masa lampau. Mereka terlalu banyak menggantungkan dirinya pada nasib. Dalam hubungan dengan sesamanya, orang kota amat berorientasi ke arah atasan, dan menunggu restu dari atas.
Gambaran di atas menurut Koentjaraningrat merupakan sikap mental yang sudah lama mengendap dalam pikiran kita, karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya kita sejak beberapa generasi yang lalu yang terkondisi sedemikian rupa sehingga bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Sedangkan setelah revolusi, mentalitas bangsa Indonesia bersumber pada kehidupan ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas. Hal ini disebabkan karena keberantakkan ekonomi dan kemunduran-kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya. Mentalitas ini mempunyai kelemahan:
1)      Sifat mentalitas yang meremehkan mutu
2)      Sifat mentalitas yang suka menerabas
3)      Sifat mentalitas tak percaya diri sendiri
4)      Sifat mentalitas tak berdisiplin murni
5)      Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh.[4]
Berbeda dengan Koentjaraningrat, A.S. Munandar mengadakan penelitian empiris (1979) untukmenjelaska orientasi nilai budaya dan mentalitas yang ada pada alam pikiran manusia Indonesia. Kuesionernya diisi oleh manajer, supervisor dan karyawan dari berbagai perusahaan swasta dan pegawai negeri.
Pertanyaan-pertanyaannya berkisar pada aspek-aspek kepemimpinan, motivasi, komunikasi, pengambilan keputusan, tujuan, dan pengendalian. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa sistem manajemen yang dirasakan pada saat ini pada masing-masing perusahaan berada di antara sistem manajemen benevolent authoritative dan consultative. Pada aspek pengambilan keputusan yang diraskan digunakan sekarang adalah sistem manajemen benevolent, yaitu keputusan diambil di tingkat pucuk pimpinan, beberapa hal didelegasikan ke bawah, bawahan kadang-kadang di ajak berunding (konsultasi). Tidak ada kelompok yang menginginkan sistem manajemen partisipative.
Munandar melihat bahwa manusia pembangun Indonesia perlu memilki suatu sistem nilai yang mendasari, mempedomani, dan mengarahkan perilakunya sehari-hari, perilakunya dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan produktif, ia juga melihat bahwa Ekaprasetya Pancakarsa yang merupakan code of conduct atau dasar pedoman perilaku manusia Indonesia pada umumnya perlu disoroti lebih lanjut.
Berikut ini adalah pendapat Koentjaraningrat berdasarkan kerangka nilai dari Kluckhon: "Suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan, dan demikian bersifat hemat untuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan, lebih menilai tinggi hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi; lebih menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya dan akhirnya menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuannya sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggungjawab sendiri".
Pitirim Sorokin mengemukakan teori bahwa kehidupan sosial diresapi dan disebabkan oleh mentalitas, yaitu ideational (peka bagi nilai-nilai spiritual, spekulatif), sensate atau inderawi (mementingkan nilai-nilai material dan empiris), dan diantara kedua ekstrim itu 'mentalitas campuran'. Kalau saya boleh menambahkan satu tipe lagi yaitu mentalitas senyawa (istilah kimia) yang tersusun dari kedua ekstrim tadi (ideational dan sensate) tetapi mempunyai karakter yang berbada dari karakter asalnya. Apabila kerangka ini digunakan untuk mengindetifikasikan mentalitas bangsa Indonesia, maka saya yakin semua tipe akan ditemukan berlaku dalam masyarakat Indonesia yang sangat plural.
Jadi mentalitas itu ialah  segala sesuatu yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Contoh: bukan hanya pembangunan fisik yang diperhatikan, melainkan juga pembangunan mental batin dan watak. Contoh: mental baja, kemauan keras dan tegar. Mentalitas: keadaan dan aktifitas jiwa atau batin, cara berfikir, dan berperasaan. Contoh: faktor mental merupkan faktor penentu di pembangunan.[5]

2.      Mental Pembangunan
Ternyata, kemalangan bangsa ini msih belum habis-habinya. Setelah porak-poranda akibat kerusuhan yang mengancam desteintegrasi yang masih saja berkecambuk, sementara krisis moneter masih saja belum menunjukkan titik akhir, muncul lagi berbagai peristiwa yang tabu. Dua peristiwa yang membuat orang tidak habis pikir yakni masalah korupsi dan penyalah gunaan dana rakyat menggambarkan betapa bobroknya manejemen dan mental para pengatur negara  yang menjadi tumpuan harapan masyarakat banyak. Sepertinya reformasi masih belum mampu menangani masalah penyakit nomor satu bangsa Indonesia, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam proses pembangunan yang sebenarnya ada tiga badan yang sangat berperan menertibkan dan mengarahkan pembangunan, yaitu bada perencana (bapenas), badan pengawasan (BPKP), dan badan penegak hukum (kejaksaan, polisi, dll). Apabila ketiga badan tersebut tertib, kuat, kompak, dan bersih, maka akan lanca suatu proses pembangun negara. Sebaliknya, jika ketiga badan tersebut rusak maka akan mebuat negara terombang-ambing seperti tanpa arah dan tujuan. Gambaran inilah yang dialami bangsa indonesia sebagai akibat rusaknya ketiga badan kunci penyelenggaraan pembangunan tersebut.
Cara bernegara dan bermasyarakat yang dianut tidak ubahnya sebuah konsep feodal. Konsep demokrasi yang dibesar-besarkan hanya sebuah gagasan saja. Kedaulatan bukan ditangan rakyat melainkan ditangan penguasa. Rakyat tidak bisa mengontrol lembaga formal seperti DPR dan MPR.  Mestinya tugas pemerintah tidak lebih dari abdi rakyat dan bukan abdi negara. Mereka dibayar dengan uang rakyat dan negara ini milik rakyat bukan kepunyaan pemerintah.
Menurut Sarjono Jatiman, sosiolog dan peneliti di Pusat Penelitian Pranata Pembangunan, demokrasi memang berjalan, tapi dalam praktiknya tidak berjalan. Negara ini menyadari betul adanya konsep feodal. Oleh karena itu, mereka tidak mendirikan negara kerajaan melainkan negara republik yang egaliter berdasarkan hukum, bahwa mulai saat itu kedudukan mereka sama dengan rakyat.[6]
Akan tetapi gagasan egaliter tidak tidak dikembangkan, justru yang berkembang gagasan feodal. Apa yang dilakukan penguasa selalu dianggap benar, tidak ada yang mengontrol, seolah-olah korupsi pun dianggap benar pula. Dalam menjalankan kekuasaan membutuhkan dukungan, modal, uang, dan sebagainya dari rakyat. Tapi, hanya rakyat atau kelompok-kelompok saja yang mampu memasok dan yang diberi kesempatan untuk memerintah. Dengan demikian muncullah kolusi, dan dari kolusi tersebut muncul pula nepotisme.
Sementara itu, menurut Kundjaraningrat, dalam bukunya kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan sebagian besar bangsa belum secara mantap memiliki mentalitas pembangunan. Mentalitas itu mensyaratkan suatu nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, sifat hemat, hasrat bereksplorasi dan berinovasi, pandangan hidup yang menilai tinggi suatu hasil karya, Nilai budaya yang kurang berorientasi vertikal, sikap percaya pada kemampuan sendiri, berdisiplin murni, dan berani bertanggung jawab sendiri.[7]
Oleh karena itu, banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi penyakit sosial budaya yang parah, seperti krisis otoritas, kemancetan administrasi, dan korupsi yang mengganas. Menurut Kundjaraningrat, untuk mengubah mentalitas yang lemah itu ada empat jalan, yaitu meliputi; memberi contoh yang baik, memberi perangsang yang cocok, persuasi dan penerangan, serta pembinaan dan pengasuhan generasi baru untuk masa yang akan datang.
Diasumsikan banyak orang indonesia mempunyai mentalitas yang berorientasi kepada para pembesar sehingga bila pembesar memberi contoh yang benar maka, bawahannyapun akan mengikutinya. Persuasi dan penerangan merupakan jalan untuk menanamkan mentalitas pembangunan baru bagi generasi mendatang.
Stigma negatif dan rendahnya kepercayaan terhadap bangsa sendiri ini didukung dengan masalah pembangunan. Masalah yang tak kalah pelik dihadapi pemerintah adalah sikap apatis masyarakat dan partisipasi yang rendah dalam pembangunan, ketidakberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta memecahkan masalahnya, tingkat adopsi masyarakat yang rendah terhadap inovasi, dan masyarakat yang cenderung menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah, serta kritik-kritik lainnya yang umumnya meragukan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan sebagai pelaksana pembangunan. Hal ini biasanya disebabkan anggapan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhan-kebutuhannya. Akibatnya, dalam menjalankan proses pembangunan dan mengatasi persoalan dalam masyarakat, pemerintah cenderung kurang melibatkan masyarakat setempat. Intervensi dari pihak luar baik pemerintah maupun lembaga bantuan masih menjadi pendekatan yang dominan.
Cooperrider & Whitney (2001) Proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program pembangunan di kerapkali dilakukan dari atas ke bawah (’top-down‘). Rencana program pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat pusat (atas) dan dilaksanakan oleh Instansi Propinsi dan Kabupaten (bawah). Dalam visi ini masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar. Program yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah sering tidak berhasil dan kurang memberi manfaat kepada masyarakat, karena masyarakat kurang terlibat sehingga mereka merasa kurang bertanggung jawab terhadap program dan keberhasilannya. Pemerintah juga kerap mengeluarkan kebijakan dengan pendekatan yang selalu diawali dengan identifikasi persoalan dan kebutuhan serta analisis solusi. Kemudian proyek dirancang sesuai dengan ‘pohon masalah’. Pendekatan yang telah bertahan lama ini bukannya tanpa manfaat. Pembangunan sarana umum seperti sekolah, klinik kesehatan, jembatan di pelosok-pelosok desa tentu amat dibutuhkan oleh masyarakat. Namun tidak efektif dan membutuhkan biaya yang besar, mengingat identifikasi masyarakat sebagai ‘klien’ yang ketika satu masalah dapat diatasi, maka membutuhkan bantuan untuk mengatasi masalah lainnya. Padahal pemerintah juga memiliki keterbatasan dan tidak bisa terus menerus memberi bantuan. Dampak lain dari pendekatan ini adalah lahirnya sikap defensif, kehilangan visi ke depan, penurunan semangat dan melahirkan persoalan-persoalan baru.

3.      Pembangunan Bangsa
Konsep pembangunan sesungguhnya tidak perlu dihubung­kan dengan aspek-aspek sosial. Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal membuktikan keberhasilan. Hal ini antara lain dapat dilukiskan di negara-negara Singapura, Hongkong, Australia, dan negara­-negara maju lain. Kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan dari aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme politik yang bertanggung jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi dapat diuraikan kembali secara transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah perencanaan.[8]
Bukan saja aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan fungsinya ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari semua itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat bersih dari beragam perilaku lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard) yang dipenuhi kepentingan tertentu (vested interest) dari keuntungan semata (rent seeking). Demikianlah, hasil-­hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat secara adil melintasi (menembus) batas ruang (inter-region) dan waktu (inter-generation).
Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber­kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen­dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan­jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi.
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah (2005) Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya peren­canaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pemba­ngunan merupakan proses untuk melakukan.
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah (2005) Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran ter­sebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara kese­luruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan.
Alexander (1994) Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya.
 Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah (2005) Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem­bangunan.
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma­syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, moderni­sasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masya­rakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisio­nal.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan se­cara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan seba­gai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkat­an dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsi­kan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring de­ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah­kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Admi­nistrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemam­puan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kuali­tatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak ha­rus terjadi dalam pembangunan”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangun­an. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/per­luasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.[9]
4.      Kelemahan Mentalitas Untuk Pembangunan
Negeri ini sudah dikenal memiliki sosial kapital yang sangat rendah dan dikenal pula memiliki etos kerja yang sangat rendah. Menurut Koendjaraningrat, bangsa indonesia memiliki kelemahan yang amat fatal, terutama bersumber pada kehidupan yang penuh keragu-raguan, tanpa orientasi, dan tanpa pedoman. Mentalitas yang lemah juga bersumber pada sifat mentalitas yang meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin dan suka mengabaikan tanggung jawab.[10]
Sartono Kartodirdjo (1998) bahwa rusaknya manajemen birokrasi bersumber dari rendahnya sumber daya sosial budaya masyarakat. Menurutnya, setiap usaha menginstitusionalkan manajemen modern untuk pembangunan yang baik tidak bisa dengan cara lain kecuali melalui cara pembenahan kepada perilaku manusianya. Artinya, suatu proses manajemen birokrasi tidak berada pada dalam suatu ruang kosong ekonomi, sosial, dan budaya.
Proses transformasi telah berjalan di negeri ini, dan tahapan tradisional feodal telah digantikan dengan tahan industrialisasi yang lebih mengutamakan kepada mutu, modal, iptek dan berbagai proses liberalisasi lainnya. Akibat semakin derasnya globlalisasi dan kebijakan pembangunan yang relatif terbuka  menciptakan peluang masuknya produk industri dari negara-negara maju ke tengah denyut jantung masyarakat. Kemajuan teknologi dan komunikasipun telah menjadi sarana penting bagi masyarakat. Tanpa dirasakan masyarakat indonesia telah menjadi obdjek  bagi produk-produk negara asing yang menjadikan semacam bentuk penjajahan dari negara maju ke negara berkembang.
Pola kehidupan konsumerisme dalam rangka kegunaan (utility), lebih berat dari pada pertimbangan nilai (value) yang melekat pada produk itu, dan berubah menjadi suatu barang yang memiliki makna simbolik. Dalam mengkonsumsi, orang lebih mementingkan image pada produk itu, daripada kegunaannya. Produk itu lebih dilihat dari citra, rasa, kemewahan dan kenikmatan, semakin langka suatu produk maka semakin tinggi pula makna simbolik yang dimiliki.
Selain memiliki nilai guna dengan fungsi yang telah ditentukan produsen, masyarakat sendiri membangun makna simbolik baru dengan citra kemewahan dan gengsi. Akibatnya konsumerisme dari produk impor menjadi beban kultural yang dihadapi masyarakat. Kebutuhan manusia yang mengkonsumsi produk industri untuk melakukan display atau pamer pada lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya, kebutuhan sangat erat kaitannyadengan tuntutan masyarakat industri itu sendiri yang memang memerlukan semacam persaingan dalam kehidupannya.
Meskipun dari waktu kewaktu kencenderungan mengkonsumsi produk dari negara maju, tapi produk lokal punya makna simbiolik yang tetap saja dipertahankan meskipun tidak secara utuh. Aspek imitatifpun menjadi menguat, baik membangkitnya kembali nilai-nilai lokal maupun simbol-simbol negara maju yang bisa dijadikan acuan. Perpaduan dua jenis yang berbeda dari corak yang khas sebagai hasil konstruksi masyarakat sendiri. Ambigiuti dan kegalauan dalam pola kehidupan seakan-akan memaksa mengadopsi kedua sistem budaya tersebut secara bersamaan. Meskipun yang diambil lebih banyak budaya material dari pada nilai yang terdapat dalam benda itu.
Dengan keinginan kuat untuk merengkuh segala model kehidupan, beban kultural semakin memberat. Sementara itu penanggulannya tidak selalu mudah, karena membutuhkan dana yang cukup besar.  Masyarakat yang terjerat dalam konsumerisme memang sering membebani kehidupan. Beban kultural yang semakin berat tidak mungkin untuk diletakkan saja. Untuk memenuhi tuntutan konsumerisme tidak membutuhkan dana yang sedikit pula. Mulai saat itulah mental nrabas masyarakat indonesia mulai dimainkan peranannya. Pada awal pemerintahan orde baru telah diingatkan tentang mentalitas suatu bangsa Indonesia yang memiliki potensi untuk merintangi pembangunan, yaitu mentalitas nrabas. Mentalitas seperti itu tidak pantas untuk menompang pembangunan, bahkan bisa menjadi kendala dan rintangan bagi pembangunan Indonesia itu sendiri. Terutama karena yang memiliki mentalitas nrabas, selalu menghindari kerja keras, disiplin yang tinggi, dan rasa tanggung jawab. Mereka lebih suka jalan pintas, yaitu dengan cara melanggar etika dan peraturan yang akhirnya menyeret pada pertilaku KKN.
Sairin (1995) mengemukakan mentlitas nrabas menyebabkan hilangnya rasa malu, perasaan tidak enak, ewuh pakewuh, bahkan nilai-nilai instrumental seperti, dosa, kualat, dan haram dapat lenyap dari dirinya sendiri. Seringkali beban kultural tidak cukup untuk memenuhi beban kultural. Untuk menambah penghasilan yang cukup besar tidak jarang mereka melakukan berbagai upaya yang sudah dapat dikatagorikan sebagai tindakan tegel (heartless).[11]
Praktik KKN menyebabkan manisnya kue pembangunan hasil adonan pemerintah orde baru, sempat dicicipi oleh sekelompok orang saja. Sekitar 30% dari anggaran pembangunan mengalami kebocoran. Akibatnya dari 70% kekuatan ekonomi nasional berada di tangan 4% saja penduduk Indonesia. Bahkan menjelang lengsernya orde baru kelompok ini diperkirakan telah mendomonasi 80% dalam ekonomi nasional.
5.      Pengembangan Mental Pembangunan
Dalam memberantas mentalitas lemah, berupa praktik KKN sudah seharusnya kedaulatan negara dikembalikan kepada rakyat. Pemerintah hanya merumuskan dan melakukan kebijakan, sedangkan yang mengontrol itu adalah rakyat. Kontrol bukan atas kebawah melainkan sebaliknya, dari bawah ke atas. Di sini kontrol tidak hanya bersifat fertikal, tetapi juga horizontal. Dalam konteks ini kita tidak perlu takut bertindak benar diantara yang salah atau takut dianggap nyleneh. Mengingat yang kita lakukan berdasar pada aturan  dan bukan selera, karena negara ini adalah negara hukum. oleh karena itu, keberanian melakukan kontrol harus datang dari semua komponen, dan semua komponen negara harus masuk.
Cepat tidaknya proses reformasi tergantung pada bagaimana mentranformasikannya dalam kehidupan, semua harus berangkat dari diri sendiri, masyarakat dan institusi. Kita harus memulai pada diri sendiri sebelum masuk pada generasi yang lain. Pada dasarnya itu saudah kita jalankan, tetapi masih sebagian.
Pendidikan untuk generasi mendatang itu sangatlah penting, karena pendidikan merupakan human investment. Ditinjau dari sudut pandang pendidikan, praktik KKN terjadi karena hilangnya kepekaan terhadap lingkungan. Dari keadaan tersebut ada sekelompok masyarakat mempunyai hak yang lebih. Dengan itu mereka mencari kesempatan sebesar-besarnya tanpa memikirkan kepentingan yang lainnya, rasa sungkan, segan, dan malu sudah hilang atau setidaknya berkurang apa kadarnya.
Lebih parah lagi, manakala kesempatan berpendapat tidak diberikan scara adil. Padahal pendapat, usul, dan kritik dari lingkungan merupakan rembagi penyelenggara negara. Dari pembenaran tersebut, akhirnya muncul pembenaran individu. Dalam konteks ini, terutama untuk generasi mendatang peranan pendidikan bukan untuk mengubah mentalitas, namun untuk menanamkan nilai-nilai yang tidak bernuansa KKN. Menurut Henny dalam memberikan pendidikan atau menanamkan nilai pijakan utamanya tetap pada agama. Sejak dini anak-anak mesti diberi pemahaman dang penghayatan akan nilai kejujuran, kepekaan, dan hormat. Ketiga nilai universal itu erat kaitanya dengan praktik KKN.[12]
Dengan penghayatan nilai kejujuran pada seorang anak, akan tidak enak bila melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai kejujuran. Apabila kepekaan tersebut tertanam dengan baik seseorang akan memikirkan dampak yang akan timbul sebelum melakukan sesuatu.
Kepekaan lainnya adalah kepekaan sosial. Misalnya apabila seorang ibu mendapati baju puteranya sudah kekecilan dan masih layak pakai, sebaiknya anak diajari untuk memikirkan dikemanakn baju itu. Dengan pendidikan seperti itu, ibu mencoba menanamkan kepada benak anaksiapa yang masih membutuhkan baju itu.
Pada kajian tersebut anak tidak diajarkan untuk tidak membicarakan harga, harta, barang, dan kesempatan yang mereka miliki ketika berada di depan orang yang kurang beruntung.
Sebagai contoh untuk diteladani dalam hal yang kurang baik, misalnya, kata-kata yang dilontarkan oleh salah satu anggota keluarga penjabat yang menyatkan memiliki salah satu mobil termahal di dunia. Hal tersebut tentunya tidak pantas dilontarkan sementara jutaan rakyat masih miskin. Hal yang pantas dan tidak pantas itu seharusnya diajarkan sejak kecil ini penting dilakukan karena itu harus diajarkan sejak kecil dan akan membuat anak senantiasa bersyukur pada Tuhan YME terhadap apa yang dimiliki. Mengingat, orang lain dalam keadaan menderita dan kekurangan. Dalam menanamkan nilai hormat (menghargai) anak didik untuk menghargai sesama, kesempatan orang lain, melihat secara objektif kesempatan setiap orang, dan mempertimbangkan mana yang baik dan buruk. Pendidikan nilai tersebut akan lebih efektif bila dilakukan oleh orang tua dirumah.
Pendidikan dirumah hendaknya dapat menyentuh budi pekerti dan tidak dogmatis. Dalam konteks trsebut, anak diberi kesempatan mengasah sendiri nilai-nilai dalam dirinya, dan sesuatu yang terjadi pada masyarakat bisa menjadi pelajaran yang sesungguhnya. Apabila pintu berpendapat telah terbuka lebar, dengan sendirinya kontrol sosial juga akan muncul. Sebaliknya jika semua serba dogmatis, bependapatpun semakin langka, apabila keadaan tersebut tercipta maka pembenaran-pembenaran akan bermunculan. Pada akhirnya, bila pembenaran-pembenaran itu terus dilakukan hati nuranipun tidak mau bicara. Dengan hati nurani yang terasah dengan sendirinya akan menjadi filter diri bila hendak melakukan sesuatu yang destruktif. KKN merupakan perbuatan yang destruktif. Apa bila di kemudian ia menemukan praktik KKN dan tidak bisa mencegahnya, bukan berarti dia ikut melakukan itu, melainkan akan bersikap pasif.
Pada dasrnya sanksi dari luar tidak terlalu signifikan untuk mengubah perilaku seseorang. Untuk itu sanksi yang efektif sebetulnya berasal dari dalam diri sendiri, yaitu berupa perasaan yang tidak enak. Perasaan inilah yang nantinya menjadi rambu-rambu dalam hidupnya, apabila sanksi dari luar yang diberikan tidak menghalanginya, maka akan muncul pembenaran-pembenaran individu atau benar menurut diri sendiri. Sebaliknya, jika nilai kejujuran, kepekaan, dan penghargaan tersebut sudah tertanam dalam diri seseorang dengan sendirinya langkah yang diambil tidak mengarah pada hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai itu. Dengan demikian KKN menjadi sesuatu yang sangat haram dilakukan.








C.    Analisis Dan Diskusi

1.      Analisis
Sangat penting bagi kita untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang pemberdayaan mentalitas pembangangunan bangsa. Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami keterpurukan mental dalam hal pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan bangsa. Terbukti dengan semakin merebaknya kasus-kasus  KKN. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan mental bangsa kita semakin menurun. Praktik KKN ini terjadi karena hilangnya kepekaan terhadap lingkungan, dan dalam hal ini disebut dengan  mentalitas nrabas.
Dalam rangka pemberdayaan pembangunan mentalitas, penyempurnaan mekanisme pemberdayaan pembangunan perlu dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian sejak dini. Hal ini harus segera untuk diatasi. Jika tidak , bangsa kita lama kelamaan akan semakin jauh dari pencapaian kemajuan bangsa. Ada tiga badan yang sangat berperan dalam mengarahkan pembangunan yaitu perencana (bapenas), pengawasa (BPKP), dan pengak hukum.  Untuk itu kita harus memiliki sifat-sifat yang positif sejak kecil yang ajarkan di rumah oleh keluarga agar dapat menghindari sifat-sifat yang negatif. Pendidikan yang dilakukan dirumah hendaknya dapat menyentuh budi pekerti dan tidak dogmatis, disini anak akan mengaash sendiri nilai-nilai dari dalam dirinya untuk mengamati dan mempelajari apa yang terjadi disekitar mereka. Sesuatu yang terjadi dalam kehidupan masyarakat akan dapat menjadi pembelajaran yang sesunguhnya.




2.      Diskusi
-          Faktor internal dan eksternal pemberdayaan masyarakat.
-          Solusi dalam pemberdayaan















D.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif  untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri.
2.      Mentalitas itu ialah  segala sesuatu yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga.
3.      Mentalitas ini mempunyai kelemahan:
1)      Sifat mentalitas yang meremehkan mutu
2)      Sifat mentalitas yang suka menerabas
3)      Sifat mentalitas tak percaya diri sendiri
4)      Sifat mentalitas tak berdisiplin murni
5)      Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh
4.      Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal membuktikan keberhasilan.
5.      Dalam memberantas mentalitas lemah, berupa praktik KKN sudah seharusnya kedaulatan negara dikembalikan kepada rakyat.
6.      Cepat tidaknya proses reformasi tergantung pada bagaimana mentranformasikannya dalam kehidupan, sumua harus berangkat dari diri sendiri, masyarakat dan institusi.
7.      Pendidikan dirumah hendaknya dapat menyentuh budi pekerti dan tidak dogmatis. Dalam konteks trsebut, anak diberi kesempatan mengasah sendiri nilai-nilai dalam dirinya, dan sesuatu yang trjadi pada masyarakat bisa menjadi pelajaran yang sesungguhnya.


Daftar Rujukan
·         Koendjaraningrat. 1974. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Jembatan
·         Koendjaraningrat dalam bukunya kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan
·         Koentdjaraningrat. 1969. Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Bhratara
·         Sairin, Sjafri. 1995. “Induztrialization, Consumer Culture and The Heartless Society”.
·         Warsito,Bambang. konsep dasar ilmu pengetahuan sosial.2009.malang: Surya Pena Gemilang
·         Subejo dan Supriyanto. 2004. Pemberdayaan masyarakat. Wordpress



[1] http:// pakarbisnisonline.blogspot.com/2010/05/analisa-pemberdayaan-masyarakat-dan.html
[2] Subejo dan Supriyanto. 2004. Pemberdayaan masyarakat. Wordpress
[3] Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1999: 856

[4] Koentjaraningrat dalam bukunya kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia 2000: 733

[6] Sarjono Jatiman, sosiolog dan peneliti di Pusat Penelitian Pranata Pembangunan
[7] Koendjaraningrat, dalam bukunya kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan
[9]  http://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/

[10]  Koendjaraningrat, dalam bukunya kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan

[11] Sairin, Sjafri. 1995. “industrialization, consumer Culture an The Heartless Society”.

[12]  Henny...

1 komentar:

  1. The Most Successful Sites for Crypto, Casino & Poker - Goyang
    Goyang Casino หารายได้เสริม & Poker is 토토 사이트 코드 one of the most worrione.com famous and well known crypto gambling sites, founded in 2012. goyangfc.com They are popular because 도레미시디 출장샵 of their great

    BalasHapus