Makalah Pertemuan Budaya Dan Agama Di Nusantara


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Budaya atau yang biasa di sebut culture merupakan warisan dari dari nenek moyang tempo dulu  yang masih ada hingga saat ini. Suatu bangsa tidak akan mempunyai ciri khas tersendiri tanpa adanya budaya-budaya yang di miliki. Budaya-budaya itupun berkembang sesui dengan kemajuan zaman yang semakin modern. Kebuyaan yang berkembang  dalam suatu bangsa itu sendiri di namakan dengan kebudayaan lokal, karena kebudayaab lokal itu sendiri merupakan sebuah hasil cipta, karsa dan rasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Di dalam kebudayaan suatu pasti menganut suatu kepercayaan yang bisa kita sebut dengan agama. Agama itu sndiri iyalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan yang dianut oleh suatu suku tersebut.
Pada pembahasan kali ini kami akan mengkaji pertemuan budaya-budaya lokal dengan agama-agama yang ada di nusantara secara lebih spesifik lagi, agar mudah untuk dimengerti. Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
·         Pengertian budaya dan agama di Nusantara?
·         Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan?
·         Peranan kebudayaan terhadap agama dalam masyarakat?
·         Keragaman budaya di nusantara?
C.    Tujuan Penulisan
·         Mengetahui pengertian dan agama di Nusantara
·         Mengetahui manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan
·         Mengetahui peranan kebudayaan terhadap agama dalam masyarakat
·         Mengetahui keragaman budaya di nusantara


BAB II
DASAR TEORI
A.    Pengertian Agama Dan Budaya

1.      Pengertian Agama
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.

             Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
 Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.

             Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.

              Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.

             Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
 Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.
 Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh.
Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.
 Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.


2.      Pengertian budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai sebagai daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Berikut pengertian budaya atau kebudaan menurut beberapa ahli :
1.      E. B. Tylor, budaya adalah suatu keluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain sera kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2.      R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah  yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh angota masyarakat lainnya.
3.      Koentjaraningrat, kebudayaan iyalah seluruh sistem gagasan milik manusia dengan belajar.
4.      Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, menyatakan bahwa kebudayaanadalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
5.      Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang dicintai oleh manusia.
Dengan demikian kebudayaan atau budaya menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik material maupun non material. Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan kemungkinan besar sangat di pengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.

B.     Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan
Budaya merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini.  Manusia di ciptakan oleh tuhan dengan di bekali oleh akal pikirannya sehingga ia mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini(dalam Rafael Raga Maran, 1999:36). Selain itu manusia juga memiliki akal, intelegensiai, perasaan, emosi, keinginan, dan perilaku.
Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia mampu menciptakan suatu kebudayaan. Ada hubungan antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan.  Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusialah yang menciptakannya dan  manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang telah diciptakannya. Kebudayaan akan terus berjalan manakala ada manusia sebagai pendudukungnya.
Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Hasil karya manusia  menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai:
1.      Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya
2.      Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan lain.
3.      Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia
4.      Pembeda manusia dan binatang
5.      Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berprilaku didalam    pergaulan.
6.      Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain.
7.      Sebagai modal dasar pembangunan.
Manusia merupkan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat mengembangkan kebudayaan, begitupula manusia hidup dan bergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusiadalam mengelolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya. Berbagai macam kekuatan manusia harus menhadapi kekuatan alam dan kekuata-kekuatan yang lain. Selain itu manusia memerlukan kepuasan yang baik secara sipiritual maupun material.
Lebudayaan masyarakat tersebut sebagian besar di penuhi oleh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat itu sendiri melahirkan teknologi atau kebuyaan kebendaan yang memiliki kegunaan utama dalam melindungi diri mereka sendiri terhadap lingkungan.
Dalam tindakan untuk melindungi diri dari lingkungan alam, pada taraf pemula manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak didalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Keadaan yang berbeda pada masyarakat yang telah kompleks, dimana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya tersebut yaitu teknologi yang memberikan kemungkinan yang luas untuk memanfaatkan hasil alam, bahkan menguasai alam.














C.    Peranan kebudayaan terhadap agama di masyarakat
Kebudayaa tampil sebagai perantara yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan ntuk memahami agama yang terdapat  pada dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnyamembaca kitab fikih, maka fikih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-Qur’an maupun hadist sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
Manusia misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Ke dalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi. Dalam pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengalaman agama. Sebaliknya tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas.










D.    Keragaman budaya di nusantara
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu.
























BAB III
STUDI KASUS
A.    Pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat majemuk
Setiap umat atau kelompok yang benar-benar hidup sesuai dengan amanah agamanya masing-masing, maka dengan sendirinya akan terwujud kerukunan, persaudaraan, kedamaian dan kenyamanan dalam kehidupan bermayarakat. Karena agama telah mengajarkan kebenaran dan kebaikan dan menjauhkan dari segala keburukan, pertikaian, diskriminasi dan lain sebagainya.
Hidup beragama tampak pada sikap dan cara perwujudan sikap hidup beragama seseorang yang mampu menerima sesama yang beragama apapun sebagai hamba Allah SWT. Karena keyakinan bahwa Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang mengasihi setiap manusia dan seluruh umat manusia tanpa diskriminasi, maka dia pun wajib dan tak punya pilihan lain, selain mengasihi sesamanya tanpa adanya diskriminasi, baik berdasarkan agama, budaya, etnik, profesi, atau kepentingan tertentu yang berbeda.
Seseorang yang tulus dalam beragama, akan menghormati, menghargai dan bahkan mengasihi dan merahmati sesamanya. Karena sesamanya adalah manusia yang dikasihi oleh Allah SWT. Seseorang yang tulus beragama mengasihi sesamanya hanya dengan berpamrih pada Allah SWT, sebagai segala sumber kasih dan rahmat.
Membedakan diri sendiri dengan orang lain adalah perbuatan akal sehat, tetapi melakukan diskriminasi terhdap orang lain justru bertentangan dengan akal sehat dan nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh para umat beragama dari setiap agama yang saling berbeda. Sebagai umat yang beragama, sudah sepatutnya kita menjadi contoh terbaik bagi umat manusia sedunia dengan cara hidup yang saling mengasihi dan saling menghargai dengan menerima perbedaan agama sebagai rahmat Allah SWT.





B.     Cara menjaga keanekaragaman budaya dalam keidupan bermasyarakat
Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak berkaitan dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan 3 wujud kebudayaan yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau praktek-praktek budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau banguna. Beberapa hal yang berkaitan dengan 3 wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah antara lain adalah produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem kepercayaan. Keragaman budaya dalam konteks studi ini lebih banyak diartikan sebagai produk atau hasil kebudayaan yang ada pada kini. Dalam konteks masyarakat yang multikultur, keberadaan keragaman kebudayaan adalah suatu yang harus dijaga dan dihormati keberadaannya. Keragaman budaya adalah memotong perbedaan budaya dari kelompok-kelompok masyarakat yang hidup di Indonesia. Jika kita merujuk kepada konvensi UNESCO 2005 (Convention on The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions) tentang keragaman budaya atau “cultural diversity”, cultural diversity diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya. Hal ini tidak hanya berkaitan dalam keragaman budaya yang menjadi kebudayaan latar belakangnya, namun juga variasi cara dalam penciptaan artistik, produksi, disseminasi, distribusi dan penghayatannya, apapun makna dan teknologi yang digunakannya. Atau diistilahkan oleh Unesco dalam dokumen konvensi UNESCO 2005 sebagai “Ekpresi budaya” (cultural expression). Isi dari keragaman budaya tersebut akan mengacu kepada makna simbolik, dimensi artistik, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya.
Dalam konteks ini pengetahuan budaya akan berisi tentang simbol-simbol pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungannya. Pengetahuan budaya biasanya akan berwujud nilai-nilai budaya suku bangsa dan nilai budaya bangsa Indonesia, dimana didalamnya berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku bangsa setempat. Kearifan lokal tersebut berupa nilai-nilai budaya lokal yang tercerminkan dalam tradisi upacara-upacara tradisional dan karya seni kelompok suku bangsa dan masyarakat adat yang ada di nusantara. Sedangkan tingkah laku budaya berkaitan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan yang bersumber dari nilai-nilai budaya yang ada. Bentuk tingkah laku budaya tersebut bisa dirupakan dalam bentuk tingkah laku sehari-hari, pola interaksi, kegiatan subsisten masyarakat, dan sebagainya. Atau bisa kita sebut sebagai aktivitas budaya. Dalam artefak budaya, kearifan lokal bangsa Indonesia diwujudkan dalam karya-karya seni rupa atau benda budaya (cagar budaya). Jika kita melihat penjelasan diatas maka sebenarnya kekayaan Indonesia mempunyai bentuk yang beragam. Tidak hanya beragam dari bentuknya namun juga menyangkut asalnya. Keragaman budaya adalah sesungguhnya kekayaan budaya bangsa Indonesia.

C.    Perlunya peranan pemerintah dalam menjaga keanekaragaman budaya
Sesungguhnya peran pemerintah dalam konteks menjaga keanekaragaman kebudayaan adalah sangat penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia. Namun sayangnya pemerintah yang kita anggap sebagai pengayom dan pelindung, dilain sisi ternyata tidak mampu untuk memberikan ruang yang cukup bagi semua kelompok-kelompok yang hidup di Indonesia. Misalnya bagaimana pemerintah dulunya tidak memberikan ruang bagi kelompok-kelompok sukubangsa asli minoritas untuk berkembang sesuai dengan kebudayaannya. Kebudayaan-kebudayaan yang berkembang sesuai dengan sukubangsa ternyata tidak dianggap serius oleh pemerintah. Kebudayaan-kebudayaan kelompok sukubangsa minoritas tersebut telah tergantikan oleh kebudayaan daerah dominant setempat, sehingga membuat kebudayaan kelompok sukubangsa asli minoritas menjadi tersingkir. Contoh lain yang cukup menonjol adalah bagaimana misalnya karya-karya seni hasil kebudayaan dulunya dipandang dalam prespektif kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik kebudayaan yang dilakukan pada masa lalu (masa Orde Baru) adalah penyeragaman kebudayaan untuk menjadi “Indonesia”. Dalam artian bukan menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural, namun dimatikan sedemikian rupa untuk menjadi sama dengan identitas kebudayaan yang disebut sebagai ”kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam konteks ini proses penyeragaman kebudayaan kemudian menyebabkan kebudayaan yang berkembang di masyarakat, termasuk didalamnya kebudayaan kelompok sukubangsa asli dan kelompok marginal, menjadi terbelakang dan tersudut. Seperti misalnya dengan penyeragaman bentuk birokrasi yang ada ditingkat desa untuk semua daerah di Indonesia sesuai dengan bentuk desa yang ada di Jawa sehingga menyebabkan hilangnya otoritas adat yang ada dalam kebudayaan daerah.
Tidak dipungkiri proses peminggiran kebudayaan kelompok yang terjadi diatas tidak lepas dengan konsep yang disebut sebagai kebudayaan nasional, dimana ini juga berkaitan dengan arah politik kebudayaan nasional ketika itu. Keberadaan kebudayaan nasional sesungguhnya adalah suatu konsep yang sifatnya umum dan biasa ada dalam konteks sejarah negara modern dimana ia digunakan oleh negara untuk memperkuat rasa kebersamaan masyarakatnya yang beragam dan berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Akan tetapi dalam perjalanannya, pemerintah kemudian memperkuat batas-batas kebudayaan nasionalnya dengan menggunakan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang dimilikinya. Keadaan ini terjadi berkaitan dengan gagasan yang melihat bahwa usaha-usaha untuk membentuk suatu kebudayaan nasional adalah juga suatu upaya untuk mencari letigimasi ideologi demi memantapkan peran pemerintah dihadapan warganya. Tidak mengherankan kemudian, jika yang nampak dipermukaan adalah gejala bagaimana pemerintah menggunakan segala daya upaya kekuatan politik dan pendekatan kekuasaannya untuk ”mematikan” kebudayaan-kebudayaan local yang ada didaerah atau kelompok-kelompok pinggiran, dimana kebudayaan-kebudayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
Setelah reformasi 1998, muncul kesadaran baru tentang bagaimana menyikapi perbedaan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yaitu kesadaran untuk membangun masyarakat Indonesia yang sifatnya multibudaya, dimana acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multibudaya adalah multibudayaisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan,1999). Dalam model multikultural ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Model multibudayaisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Sebagai suatu ideologi, multikultural harus didukung dengan sistem infrastuktur demokrasi yang kuat serta didukung oleh kemampuan aparatus pemerintah yang mumpuni karena kunci multibudayaisme adalah kesamaan di depan hukum. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga pola interaksi antar kebudayaan kelompok untuk tetap seimbang antara kepentingan pusat dan daerah, kuncinya adalah pengelolaan pemerintah pada keseimbangan antara dua titik ekstrim lokalitas dan sentralitas. Seperti misalnya kasus Papua dimana oleh pemerintah dibiarkan menjadi berkembang dengan kebudayaan Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue ekonomi yang adil. Dalam konteks waktu, produk atau hasil kebudayaan dapat dilihat dalam 2 prespekif yaitu kebudayaan yang berlaku pada saat ini dan tinggalan atau produk kebudayaan pada masa lampau.






















BAB IV
ANALISA DAN PENUTUP
A.    Islam sebagai ideologi
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dari hasil ciptaan Tuhan. Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian atau kedamaian hakiki melalui indera.
Bila kita amati secara obyektif, Islam memiliki ciri-ciri baik dalam konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Syarat mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam dengan tepat dan benar. Kemudian harus komitmen terhadap ajaran-ajarannya.
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila didukung dengan adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah SWT telah telah berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai amal sholeh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.
Al-Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pada pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum yakni mengandung dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk, disertai dengan rasa ikhlas karena Allah SWT, berserah diri diiringi dengan amal sholeh serta sikap tegar dan optimis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya merupakan penyerahan diri secara bulat kepada Allah SWT yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme”. Mereka mengasosiakan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama selain Islam yang dianalogikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen diambil dari nama pembawanya (Yesus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea).
Namun, nam Islam mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual atau pun diperuntukkan bagi suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi dari konsep Rahmatan Lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Muhammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang  jelas berbeda konsep.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang Rosul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya merupakan agama-agama yang yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu. Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada AllahSWT, tetaplah sama. Hubungan semua Rosul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di berbagai zaman, kapan dan dimana saja.

B.     Islam sebagai Budaya dalam perspektif masyarakat
Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam ketika pertama kali masuk di Tanah Jawa. Menurut salah satu literatur dengan judul “Jejak Kanjeng Sunan”, Perjuangan Wali Songo” (1999) yang diterbitkan oleh Yayasan Festifal Wali Songo; dalam sejarah Syeh Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia.
Menurut buku “Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M, agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok, ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya tiga tipe masyarakat.
Tiga tipe masyarakat tersebut yaitu orang-orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makannya enak-enak. Orang-orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim. Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut Animisme dan Dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada di bawah pemerintahan kerajaan Majapahit. Masyarakat menganut sistem struktur sosial yang berkasta, yaitu Kasta Sudra, Kasta Waisya, Kasta Ksatria, dan Kasta Brahmana. Model masyarakat seperti inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli, tetapi mereka mampu mengendalikan situasi yang ada.
Pengaruh Islam dapat dikatakan tidaklah terlalu besar. Agama ini hanya menyentuh kulit luar budaya Hindu/Budha-Animistis yang telah berakar kuat. Fenomena ini dijelaskan oleh Muhaimin (2002) di Jawa, “Islam tidak menyusun bangunan peradaban, tapi hanya menyelaraskannya”.
Bagi masyarakat Jawa, Islam adalah tradisi asing yang dipeluk dan dibawa oleh para saudagar musafir dan pesisir. Keadaan kebudayaan masyarakat ini sebenarnya seirama dengan situasi (etnis)/ suku pendatang, dimana secara tegas tidak diketahui secara pasti pada waktu itu. Yang dapat diketahui hanyalah sesudah berkembangnya agama Islam di Jawa. Sampai sekarang terlihat bahwa kebudayaan mereka berlatar belakang ajaran Islam. Adat istiadat yang berkembang di Jawa tetap bernafaskan Islam, walaupun bentuk dan tata cara pelaksanaannya berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat yang lain. Bahkan kesenian dan kebudayaan lainnya juga turut berkembang sehingga terlihat adanya percampuran antara Hindu dan Islam. Contohnya pagelaran wayang kulit, budaya slametan, pitonan bayi, bersih desa, serta penerapan penanggalan Jawa: legi, pon, wage, pahing dan kliwon.
Jika diamati secara mendalam, maka kita akan melihat adanya perpaduan antara kepercayaan asli masyarakat Jawa dengan kepercayaan Islam yang datang belakangan. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan nyata, misalnya pada waktu acara slametan. Pada praktik slametan slametan tersebut, terkandung berbagai unsur adat lokal dan Islam. Di sana ada praktik magis berupa kepercayaan pada roh, dan ada pula penyisipan unsur Islam, yaitu berupa do’a yang dikumandangkan pada saat selesai melakukan acara slametan. Sehingga Islam melebur dalam budaya masyarakat dan mampu mewarnai setiap gerak kehidupan yang ada tanpa melepaskan akidah dan syariatnya.










  1. Kesimpulan
1.      Agama dan Budaya memiliki kaitan yang sangat erat, yakni agama berperan sebagai konsepsi budaya dan sebagai realitas budaya yang terdapat di Nusantara.
2.      Budaya merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini. Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia mampu menciptakan suatu kebudayaan.
3.      Kebudayaan digunakan ntuk memahami agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.
4.      Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dengan keanekaragaman kebudayaannya, Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya yakni Indonesia mampu menghasilkan potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi.

1 komentar: